Analisis
Ekonomi BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani Bustanul Arifin
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Inflasi merupakan masalah ekonomi di
seluruh Negara. Menurut pengalaman di berbagai Negara yang mengalami inflasi
adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus
(kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, antara lain konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas
di pasar yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga
akibat adanya ketidaklancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga
merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara
kontinu. Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya
tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu
menunjukan inflasi. Inflasi adalah indikator untuk melihat tingkat perubahan,
dan dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara
terus-menerus dan saling pengaruh-memengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan
untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala
dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. Untuk itu inflasi harus dapat
segera diatasi, karena inflasi yang buruk akan mengurangi investasi diikuti
dengan berkurangnya kegiatan ekonomi, dan menambah pengangguran, sehingga
memperlambat pertumbuhan ekonomi.
1.2 Tujuan
Tulisan ini dibuat untuk mengetahui
tentang BBM,ekspektasi inflasi dan kesejahteraan petani di Indonesia dan untuk
memenuhi tugas aspek hukum dalam ekonomi.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagaimana diketahui, harga eceran bahan bakar minyak
bersubsidi di dalam negeri tidak jadi naik pada awal April ini. Pemerintah
bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika
kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter.
Keputusan
politik yang diambil pada Jumat dini hari itu akhirnya memberikan diskresi
kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP)
mengalami perubahan lebih dari 15 persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan
posisi harga ICP yang telah melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah
mungkin akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012
jika harga ICP tetap bertahan tinggi.
Di
satu sisi, masyarakat mungkin dapat terhibur dengan keputusan politik tersebut
walaupun harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik. Namun, di sisi lain
keputusan yang sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi (expected inflation)
justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis memperkirakan laju
inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun musim panen padi
telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di atas 5 persen,
apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan.
Telah
banyak bukti teoretis dan empiris bahwa ekspektasi yang lebih tinggi akan
memengaruhi tingkah laku ekonomi yang menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru.
Dengan perkiraan inflasi naik, yang juga berarti menurunnya daya beli,
masyarakat cenderung menanamkan modal pada investasi jangka panjang, seperti
tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun akan memperumit pengendalian
harga, terutama pangan pokok, karena psikologi pasar sudah telanjur memiliki
gambaran tidak stabil atau negatif.
Pengalaman
empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain
melonjak tinggi pada Juni-Agustus, terutama karena ekspektasi inflasi
menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras
kualitas murah sampai sedang telah naik melampaui 10 persen karena ekspektasi
pedagang dan konsumen terhadap kenaikan harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini,
laju inflasi diperkirakan naik juga pada rentang musim kemarau tersebut karena
panen padi telah selesai. Hanya sejumlah kecil petani yang mampu melakukan
penyimpanan untuk keperluan pada musim paceklik.
Pada
Senin ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan laju inflasi bulan Februari,
angka ramalan pertama produksi padi tahun 2012, dan beberapa statistik penting
lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di Indonesia dihasilkan pada
periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen sisanya pada panen gadu
September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling mampu lebih tinggi dari
65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai target ambisius surplus
beras 10 juta ton. Demikian pula sebaliknya, apabila panen raya sekarang ini
tidak menunjukkan kinerja yang spektakuler, harapan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani tampak masih jauh dari kenyataan.
Dampak
kesejahteraan petani
Kalangan
awam pun paham bahwa ekspektasi laju inflasi, apalagi jika disertai kenaikan
harga BBM, akan menambah biaya pengeluaran masyarakat, tidak terkecuali petani.
Ukuran yang paling kasar seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan
memburuknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari
2012 tercatat 105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita
petani padi (turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani
hortikultura (turun 0,23 persen).
Persoalan
klasik di lapangan belum dapat ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor
produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan
lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana
kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan semakin sulit
memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena spekulasi dan
penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju inflasi
nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di daerah
pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok pengeluaran
naik.
Tidak
perlu disebut lagi bahwa penguasaan lahan petani Indonesia sangat tidak merata
karena sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah tangga petani padi-palawija
hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang. Petani skala kecil ini
benar-benar menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan
pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM
yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan
sehari-hari.
Demikian
pula dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan. Lebih
memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari kelompok miskin ini sangat rentan
terhadap kenaikan harga pangan, terutama beras. Artinya, peluang terjadinya
kemiskinan baru sangat besar apabila masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi
laju inflasi yang cukup besar, terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan
harga BBM tahun 2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang
seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan
penanganan dampak yang demikian masif.
Rencana
strategi kompensasi dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp
150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan secara politik, tetapi sangat jauh
untuk menanggulangi dampak kesejahteraan yang ditimbulkannya. Artinya,
pemerintah masih memiliki waktu yang cukup untuk secara serius menyempurnakan
skema perlindungan yang memadai bagi petani, nelayan, dan kelompok miskin lain.
Demikian
pula Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan
Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mungkin menjadi panduan secara
administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan
persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan
langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan
petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara negara di Indonesia.
Bustanul
Arifin Guru Besar Universitas
Lampung, Professorial Fellow InterCAFE dan MB-IPB
http://id.wikipedia.org/wiki/Inflasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar